11.18.2012

Keroncong Muda yang Ambigu


Menyaksikan konser Simfoni Keroncong Muda #3 (20/10/12) di Auditorium Sekolah Menengah Musik (SMK N 2 Yogyakarta) saya seperti merasakan hal yang nanggung dari sebuah gerakan ideologis kaum muda keroncong Yogyakarta generasi 2000-an. Nanggung karena tidak 100% anak muda! Dan lebih nanggung karena di panggung muncul banyak hal yang tidak perlu tapi seperti dianggap perlu. Konser musik jelas bukan perkara visual atau verbal-retorik, tetapi adalah perwujudan ekspresi kesenian yang diwakili oleh peristiwa bunyi yang akan mampu bicara sendiri tanpa perwakilan visual atau retorika.

Adanya dua gambar sosok yang dianggap tokoh di panggung adalah pengkultusan yang bagi saya tidak perlu; MC yang terlalu dominan membuat jenuh, dan adanya pelantikan yang memakan waktu lama semakin menghilangkan mood banyak pengunjung konser. Percayalah: pengunjung konser hanya cuma butuh satu yang utama: mendengarkan musiknya, dan membayangkan satu lagi yang inti dari acara itu: musik keroncong dan anak muda. Betapa menyegarkan. Tetapi, misi ini gagal karena pengelolaan acara yang kurang baik. Acara yang sudah molor satu jam lebih itu, ditambah kemasan yang “kurang percaya pada bunyi, musik dan senimannya” membuat konser musik ini menjadi tidak jelas visinya. Keroncong yang sudah berhasil hidup sejak zaman pintu dagang dibuka oleh Portugis dan ber-regenerasi hingga ratusan tahun merupakan prestasi luar biasa dan itu tidak akan pernah mati. Jangan justru “dibunuh pelan-pelan” oleh hal-hal yang tidak perlu terjadi.

Saya yakin, anak muda masa kini bisa menyukai musik keroncong bukan karena sejarahnya atau karena alasan itu budaya yang harus dilestarikan, diuri-uri, dan segala kenormatifan yang lain. Mumet mereka jika dikompori untuk menyukai keroncong dengan alasan-alasan di atas. Anak muda akan menyukai keroncong karena mereka penasaran akan bunyi dari setiap instrumennya, cara mainnya, dan lagu-lagu sesuai yang mampu menyedot perhatian mereka.

“Zaman semakin bergerak dan sudah lain dengan dulu, bung!” Tidak masalah alat musik keroncong memainkan musik apa saja, karena yang terpenting bukan alat musiknya. Suka-suka kita, wong yang punya musik keroncong itu cuma Indonesia. Tidak masalah juga keroncong dibawakan dengan gaya apa saja, karena yang terpenting bukan cara mainnya. Yang lebih penting adalah bagaimana keroncong disukai anak muda. Supaya regenerasi jalan. Itu dulu. Artinya pendekatannya. “Bagaimana membuat anak muda jatuh cinta pada keroncong?” Baru sesudah mereka suka, tetap silakan dikenalkan dengan yang baku, pakem, atau yang formal dari keroncong. Agak revolusioner, tapi perlu dicoba. Jadi pendekatannya dibalik. Jangan dikenalkan dengan yang baku, pakem atau sulit dulu. Lari mereka nanti, ngga mau dengar keroncong lagi...

Lima aspek penting
Perlu ada perombakan yang signifikan untuk membangun sejarah baru musik keroncong. Bisa diidentifikasi sedikitnya dari lima aspek pokok: (1) karya-karya baru keroncong dan rekamannya, (2) perluasan bentuk/gaya/formasi dalam keroncong, (3) event-event keroncong, (4) pendidikan musik keroncong, (5) penelitian-penelitian keroncong.

Adanya karya-karya baru dengan diikuti rekamannya jelas akan melengkapi kasanah perbendaharaan lagu-lagu keroncong kita. Begitu pula adanya perluasan bentuk/gaya/formasinya yang diikuti dengan adanya kelompok-kelompok baru non-standar. Keroncong tidak cuma pemain depan belakang, tidak cuma cak cuk selo gitar bas biola dan suling. Pergelaran International Keroncong Festival #1 tahun 2008 di Solo memberi bukti itu. Simak bentuk/formasi Solo Keroncong Orchestra, Harmony Chinese Musik Group, Cyber dan Merah Putih, Congrock,  Canina, dan sebagainya, juga Solo Keroncong Festival beberapa waktu lalu (2012), adanya grup Parker (Para Rimba Keroncong) memberikan formasi yang sama sekali berbeda dari yang kita kira selama ini: keroncong dicampur band, distorsi, kendang, saxophone, tari-tarian, dan lain-lain. Di Jogja kita juga pernah kenal Light Keroncong Orchestra yang mengawinkan keroncong dan synthesizer. Banyak kemungkinan dan semua menarik perhatian anak muda.

Selain dua hal di atas, perlunya event-event berupa festival, kompetisi, workshop, lokakarya, seminar, diskusi, camp dan sejenisnya akan membawa dampak baik selagi dikemas secara berkualitas. Pendidikan musik keroncong yang menyasar hingga ke generasi-generasi muda melalui program “Keroncong go to School” juga bisa sebagai peluang jemput bola apresiasi keroncong. Terakhir adalah soal penelitian. Indonesia kekurangan ahli ilmu keroncong di luar sejarah. Kekurangan yang meneliti musiknya, teknik permainannya, bahkan penulisan buku praktis keroncong juga tidak ada. Semua aspek itu adalah peluang emas dan bisa dilakukan bagi yang merasa memiliki perhatian dengan keroncong. Yang penting karyanya, bukan cuap-cuapnya.

Simfoni Keroncong Muda #3 bisa menjadi pelajaran penting bagi kita untuk lebih percaya pada kemungkinan yang luas dari musik keroncong itu sendiri. Jangan kita bunuh keroncong secara pelan-pelan hanya karena stigma kuno: anak muda kurang menghargai budaya warisan leluhur. Zaman terus bergerak, dan kita sendiri sudah merasakan perubahan-perubahan yang terus terjadi, dan akan terus berubah. Pertanyaannya, apakah kita siap dengan perubahan itu? Kalau tidak siap, matilah keroncong...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar