2.28.2011

satu bahasa, dua makna



           Sebuah kerajaan kecil yang kemarin sempat dikoyak gempa, erupsi merapi, dan penodaan oleh SBY dkk., ternyata benar-benar istimewa. Atau barang kali disebut juga masih istimewa. JOgja. Itu yang akrab di telinga masyarakat dan tak jarang pemikir yang membubuhi sebutan itu dengan gelar "kota budaya". Demikian besar peran Jogja dalam pengembangan nilai tradisi sopan-santun (polite tradition) yang terwujud lewat ekspresi seni dan budaya (karawitan jawa, aksara jawa, wayang, dll).
           Jogja juga disebut sebagai kota pelajar. Ini bukannlah spekulasi, melainkan bukti dari besarnya jumlah pelajar di Jogja. Para pelajar itu datang dari pelosok nusantara, bahkan mancanegara yang tertarik untuk mempelajari "Indonesia" (termasuk juga penulis yang merantau dari Jombang). Jogja juga memiliki beberapa kampus yang memberikan studi humaniora, seperti UGM, ISI, UNY, UMY, UAD, dll. Semua itu adalah bukti bahwa ada sebuah sinkronasi antara pelajar dengan kota Jogja.
            Pertama kali datang dan berinteraksi dengan beberapa lingkungan jogja selatan, penulis sontak kaget seolah tak percaya. Jogja yang dalam image penulis adalah kota budaya, ternyata tak berbudaya sebagaimana seperti dalam mainset penulis. Ini adalah sebuah pukulan berat, karena penulis menilai terdapat unsur kebohongan yang sengaja atau tidak telah dibuat oleh publik. Penulis menyaksikan tata bahasa (tata krama) yang kacau-balau di dalam aplikasi bahasa keseharian. Bahasa krama hanya digunakan dalam momen tertentu, seperti rembug, musyawarah, perjumpaan dengan orang baru, dll.
             Melihat fenomena di atas, penulis mencoba membuat komparasi budaya antar Jombang dengan Jogja. Pertimbangan penulis dalam mengambil Jombang sebagai tandingannya karena penulis berasal, dan memahami budaya Jombang. Kedua, Jombang adalah sebuah kota kecil dimana pergolakan dan pergeseran tokoh serta kekuatan politik Majapahit sampai saat ini. Ketiga, menurut spekulasi analisis sejarah, Jombang adalah tanah trasnmigrasi dari kerajaan Mataram lama ketika terjadi bencana di Mataram. Selanjutnya, beberapa Tokoh besar bermunculan dan banyak memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat Kraton Jogja.

1. Nama Jomblang di Jogja.
    Sebelah barat kampus ISI Jogja, terdapat desa yang bernama Jomblang. berada di kecamatan Sewon, kabupaten Bantul. Beberapa kali saya dikira warga jomblang ketika menjawab pertanyaan warga. Asalnya dari mana mas? tanya seorang warga. Jombang pak, jawab saya.
oh, cah jogja tho, tapi ngomonge kok kasar?
sanes Jomblang pak, nanging Jombang jatim (bukan Jomblang pak, tapi Jombang jatim). saya menimpali.
2. Guyon dikira bertengkar oleh Jogja.
     Persepsi orang Jogja dalam menginterpretasi bahasa Jombang bisa berbeda-beda, namun ada beberapa anggapan mayoritas. Misalnya saja, ketika mereka mendengarkan percakapan via telpon orang Jombang, Mereka mengira bahwa terjadi pertengkaran (adu mulut). Salah faham semacam ini karena orang Jogja hanya memandangnya hanya asebatas perspektif dialek saja. Jogja memiliki dialek yang jauh lebih halus dibandingkan dengan Jombang. Ungkapan emosional biasanya diwujudkan dalam bentuk nada-nada tinggi, tekanan, cepat, keras, aksent.
3. Idiom-idiom beda makna.
    Terdapat banyak Idiom Jombang yang berati beda jika dipakai di Jogja (Mataram). misalny:
Idiom
Makna Jombang
Makna Jogja
Mari
Selesai
Sembuh
Gajul (digajuli)
Digantikan
Dipukuli/dihajar
Lesu
Lapar
Capek
Tibo
Jatuh (untuk manusia)
Jatuh (semua benda)

   empat contoh idom di atas hanyalah sebagian kecil, masih banyak lagi yang lain. Saya akan memberikan contoh             perbedaan aplikasi Idiom tersebut.
Jombang "penggaweanku wes mari digajuli Cak Budi Budaya, aku wes gak kuwat mergo mari tibo nang prapatan tugu Jogja", artinya " pekerjaan saya telah digantikan oleh Cak Budi Budaya, aku sudah tidak kuat karena habis terjatuh dari perempatan tugi\u jogja" Jika kalimat di atas dipahami oleh tata bahasa Jogja, maka akan bermakna "pekerjaanku sudah sembuh terus dihajar Cak Budi Budaya, aku sudah tak kuat karena sembuh jatuh di perampatan tugu jogja".
4. Tata krama.
     penggunaan tata krama oleh masyarakat Jogja sangat berbuda dengan Jombang. Di Jogja, tata krama seolah hanya sebagai formalitas tradisi jawa. Faktanya, banyak sekali unggah-ungguh hanya ditujukan pada kalangan tertentu saja. Misalnya pada orang yang belum dikenal, forum musyawarah, dan acara formal lainnya. Sementara dalam kesehariannya, akan banyak dijumpai kata-kata awuran "ngawur sesuai kehendak". Misalnya saja jika seorang anak kecil berbicara pada bakpaknya (ortu), "pak, kowe..." atau bahkan pada sesepuhnya pun juga sama saja "kowe". Padahal, menurut tata krama Jogja yang baku, ini adalah sebuah bentuk ketidak-sopanan.
5. Pesantren sebagai media pelestari bahasa.
    Tak pelak, satu-satunya Institusi yang mampu mempertahankan dan menjaga kemurnian nilai tata krama bahasa jawa baik Jogja maupun Jombang adalah Pesantren. Di sana, penggunaan bahasa jawa dalam ma'nani "memaknai" kitab bahasa Arab adalah bahasa jawa.
Antar Jombang-Jogja, telah diikat oleh jaringan Pesantren dan jamaahnya. Terlebih ketika NU berdiri, banyak sekali pesantren-pesantren di seluruh jawa yang ikut bergabung dan membenahi sistem pendidikannya. Pendidikan bahasa jawa pesantren ini mengacu pada translate bahasa jawa oleh Wali Songo, sehingga dijadikalah arab-pegon sebagai landasan translasinya.


           Dari tulisan di atas, penulis tidak bermaksud membandingkan antara jombang  dengan Jogja perihal tata bahasa. Penulis hanya menganalisa perubahan jaman dan fenomena budaya yang terjadi. Tidak ada maksud provokasi terhadap pembaca. Semoga tulisan ini bisa menjadi referensi dalam kajian seni budaya yang beraneka ragam di Indonesia.

          penulis mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya apabila ada pihak yang kurang berkenan manakala membaca tulisan ini. Terima kasih,...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar